Aku,
Ulna
Aku kembali. Melewati jalan setapak yang dulu pernah
menjadi saksi, hadirnya gelak tawa anak kecil yang berlari riang menuju rumah.
Tak sabar menunjukan hasil gambarnya yang dipuji guru dan membuat iri semua
teman sekelas. Tak sabar melihat senyuman bangga dari kedua orang tuanya.
Aku kembali. Namun, bukan membawa sesuatu yang layak
ditunjukan. Melainkan sesuatu yang sama sekali tak pantas dibanggakan. Hina.
"Mbok," panggilku pada wanita tua yang sibuk
memberi makan ayam-ayam peliharaannya. Ia menoleh. Lalu terpaku. Bisu. Sebelum
mulutnya mengeluarkan suara.
"U-ulna? Kamu ... Ulna anakku, kan?" tanyanya
memastikan. Aku mengangguk pelan. Bendungan air mata sudah tak bisa ditahan.
Tumpah.
"Maaf ya, Mbok. Ulna baru pulang," kataku
sambil menyalami tangan keriputnya. Kemudian dia memelukku. Melepaskan semua
kerinduan yang lama terpendam.
"Ndak apa-apa. Kamu masih inget pulang, Mbok udah
seneng. Ayo masuk, kamu pasti capek, kan?" Aku dibawanya masuk ke dalam
rumah yang umurnya bahkan lebih tua dariku. Semuanya yang kulihat tetap sama seperti sepuluh tahun silam. Tidak ada yang berubah. Indra penciumanku
mendeteksi sesuatu. Ah, aroma ini. Aroma kayu jati yang memabukkan. Aroma yang
membuka kenangan manis berpuluh-puluh tahun lalu. Saat aku masih tidak mengenal apa itu hina.
"Slamet mana, Mbok?" Aku mengedarkan pandangan
ke seluruh penjuru ruangan. Berharap mendapati adikku satu-satunya. Aku yakin
dia sudah tumbuh menjadi pemuda yang gagah.
"Biasa, keliling kampung. Mau cari gadis-gadis ayu,
katanya." Mbok tertawa. Menampilkan giginya yang tak lagi lengkap. Aku
tersenyum. Lihat! Anak laki-laki yang cengeng itu bahkan sudah berani tebar
pesona. Semoga dia tidak bertemu gadis ayu penggoda iman.
Oh, Tuhan. Kutuk aku sekarang.
"Gimana di Jakarta, Na? Kamu hidup bahagia ya di
sana? Sampai-sampai Mbok kira kamu melupakan kami." Kena. Seribu belati
bersamaan menghujam hati. Aku terdiam. Bingung harus menjawab apa. "Kamu
kerja apa di sana? Pasti kerja di gedung-gedung yang tinggi itu, ya."
"I-iya, Mbok. Aku kerja di perusahaan besar di
Jakarta. Tidak tinggi jabatannya, tapi gajinya lumayan besar. Cukup buat
mencicil rumah dan beli mobil."
"Kok kamu ke sini ndak bawa mobilmu? Biar bisa ajak
Mbok dan Slamet jalan-jalan keliling kampung, Na."
"Eh, a-anu itu ... mobilku mesinnya rusak. Perlu
perbaikan lama di bengkel. Jadi belum bisa dibawake mari," jawabku
mengarang alasan.
Dusta. Semua yang aku katakan hanya bualan belaka. Omong
kosong. Tolong jangan percaya padaku, Mbok.
"Terus kamu udah punya calon belum? Gadis cantikku
ini mana mungkin ndak ada yang mau." Mbok tertawa renyah. Namun, bagiku tawa itu
bagai sambaran petir di siang bolong.
Apakah masih ada yang mau dengan diriku yang kotor ini?
Beruntung. Suara tapak kaki mengalihkan
perhatian. Melupakan pertanyaan yang belum bisa kujawab sekarang. Adikku,
Slamet, rupanya adalah pemilik suara tapak kaki itu. Benar dugaanku, dia sudah
tumbuh menjadi pemuda gagah nan rupawan.
Berbeda jauh sekali dengan sepuluh tahun silam. Saat Bapak
meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Saat Slamet baru saja masuk SMA dan Mbok
yang mati-matian mencari pinjaman untuk bayar uang seragam. Saat aku memutuskan
mengadu nasib ke ibu kota demi mencari hidup yang lebih baik.
Namun, kenyataan memang lebih menyakitkan daripada
khayalan semata.
"Met, ini ada Mbakmu!" Mbok tersenyum senang.
Slamet menatapku cukup lama. Raut wajahnya menandakan dia sedang berpikir.
Namun kemudian dia menghambur ke pelukanku. Menangis. Aku ikut terharu.
"Mbak udah lama datangnya? Gimana kabarnya? Aku
super kangen, lho, sama Mbak! Kenapa baru pulang sekarang?" Slamet
langsung menjejaliku dengan setumpuk pertanyaan. Aku tertawa. Ternyata sifat
lamanya tidak hilang.
"Nanti lagi ngobrolnya. Mbakmu pasti masih capek.
Kamu istirahat di kamar dulu ya, Na. Nanti kita ngobrol lagi. Mbok juga masih
punya banyak pertanyaan," katanya. Aku mengangguk. Bangkit berdiri.
Sedikit bernapas lega karena pembicaraan terhenti. "Kamu masih ingat
kamarmu, kan?"
Ah, kamar lamaku. Tempat favoritku kala itu. Satu-satunya
tempat yang membuatku betah berlama-lama.
Kamar. Entah kenapa sekarang tempat ini malah jadi yang
paling aku takuti.
Kakiku melangkah menuju pintu di dekat dapur. Pintu kayu
yang dihiasi sebuah papan nama sederhana. Papan nama bertuliskan namaku, Ulna.
Aku masih ingat membuatnya bersama Bapak.
Aku juga masih ingat, saat Bapak memberikan nasehat
terakhir kali. Sebelum malaikat maut datang menjemputnya.
"Kamu itu perempuan. Kehormatanmu lebih besar
daripada apapun. Bapak tidak mau kalau di dalam kubur nanti sengsara karena
istri dan anak perempuanku tidak bisa menjaga kehormatannya," katanya kala
aku menemani saat-saat terakhirnya.
Kamarku juga masih sama. Terlihat rapi. Pasti Mbok rajin
membersihkannya. Berharap suatu saat aku pulang. Dan kini, aku sudah pulang.
Membawa beban besar di pundak. Membawa rasa penyesalan teramat dalam. Bahkan,
membawa aib bagi keluarga.
Betapa hancurnya hati Mbok kalau tahu bahwa anak
perempuannya adalah seorang wanita penggoda.
Ya. Aku, Ulna. Hanya seorang wanita penggoda. Wanita yang
menjadi boneka bagi laki-laki berjas hitam ibu kota. Penghibur bagi mereka yang
penat akan rutinitas pekerjaan di gedung-gedung tinggi. Demi setumpuk uang yang
tidak seberapa. Rela aku tukarkan dengan kehormatan dan harga diriku sebagai
perempuanyang paling mahal harganya.
"Mbah, aku tadi lihat Ulna sudah pulang. Bagaimana
katanya hidup di Jakarta?" Sayup-sayup aku dengar suara Mbak Yuni,
tetanggaku di depan rumah. Mbak Yuni memang paling terkenal suka mengusik
kehidupan orang lain. Kadar keingintahuannya sangat besar. Aku awalnya tidak
berminat untuk mendengar, tapi karena suara mereka cukup keras mau tidak mau
pembicaraan mereka sampai ke gendang telinga.
"Iya. Ulna sudah hidup bahagia di Jakarta. Dia kerja
di perusahaan besar. Sudah punya rumah dan mobil juga," cerita Mbok bersemangat.
Aku, Ulna. Selain penggoda, aku juga seorang pendusta.
***
Tik.
Hening membuat pergeseran jam
menyuntik gendang telinga. Hampir subuh. Sepertinya aku tidur terlalu lama.
Lalu terbangun karena mimpi tak biasa.
Bapak. Dia datang meminta pertolongan
padaku. Kondisinya buruk sekali. Banyak luka di sekujur tubuhnya. Dua orang
berwajah menyeramkan menyiksanya tanpa ampun. Aku ingin menolong, tapi seperti
ada sekat penghalang yang sangat kuat.
Mimpi yang sangat amat buruk dari
sekian banyak mimpi buruk yang aku alami.
Tunggu dulu!
Apakah ini semua salahku? Apa Bapak
benar-benar sengsara di alam kubur karena aku? Karena anak perempuannya
penggoda dan pendusta besar?
Ya, Tuhan. Ampunilah aku.
Adzan subuh berkumandang. Seiring
dengan air mata penyesalan dari seorang perempuan yang tidak bisa menjaga
kehormatan dan harga dirinya. Perempuan berlimang dosa.
Bapak, maafkan Ulna.
Okee everybody!! Thanks for reading! So, sebenarnya ini adalah cerpen yang gue ikutin lomba di sekolah. Juara berapa? Kepo aja, Anda! Haha. Krisan sangat diperlukan guys. Enjoy!
Cuma segini? Bikin lagi lah xd
BalasHapus